Rabu, 02 Februari 2011

Penerjangan: Kata Adil


Penerjangan: Kata Adil

Oleh: Gul Azwara

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab " 'adl ". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan, bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama". Namun, kita juga perlu mencermati makna “sama”-nya agar tidak keliru. Di dalam kata pengantar buku Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, oleh penulisnya yaitu Dr. Adian Husaini mengutip konsepsi Adil, seperti yang beliau tulis:

Mungkin, setiap manusia Indonesia hafal bunyi sila kedua dari Pancasila, yaitu: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tapi, apakah banyak yang paham, sebenarnya, apa arti kata ”adil” dan kata ”beradab” dalam sila tersebut? Mungkin Presiden atau para pejabat negara juga tidak paham benar apa makna kata-kata “adil” dan “beradab”, sebab faktanya, banyak pejabat yang perilaku dan kebijakannya tidak adil dan tidak beradab. Lihatlah, banyak pejabat menggunakan mobil dan sarana mewah dengan uang rakyat, padahal begitu banyak rakyat yang kelaparan, kurang gizi, tidak bisa berobat dan kesulitan biaya pendidikan.

Beliau juga menambahkan dalam kata pengantarnya:

Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya- mempercayai,” tulis Hamka.

Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya.

Menarik sekali untuk dikaji terminologi “Adil” ini. Sebab, banyak sekali permasalahan yang timbul karena kurangnya pemahaman yang lebih komprehensif pada kata “Adil”. Dalam hal ini, yang sangat kita perhatikan adalah mengenai penempatan masalah (obyek) pada kedudukannya, atau dengan parameter proporsionalitas. Proporsionalitas yaitu menyatukan hal-hal yang sama, berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang sama untuk obyek-obyek yang memang sama, serta memberikan penilaian dan perlakuan yang serupa untuk obyek-obyek yang serupa. Dan memisahkan hal-hal yang berbeda berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang berbeda untuk obyek-obyek yang memang berbeda, serta pula memberikan penilaian dan perlakuan yang berlawanan atau bertentangan untuk obyek-obyek yang berlawanan atau bertentangan.

Dan tepat sekali, jika memang term “Adil” itu hidup, dan dipahami dengan benar oleh masyarakat, seperti yang sudah dijelaskan oleh Prof. Hamka di atas, maka kemerosotan moral, kemorosatan ekonomi, dan lainnya, yang sedang melanda negeri ini akan cepat teratasi. Namun, kenyataanya kita masih banyak yang keliru dalam memahami kata adil, bahkan kata keadilan itu telah diperkosa maknanya menjadi dzalim.

Adalah sebuah kekeliruan besar, jika memang kesalahpahaman akan term “Adil” ini hanya diartikan menjadi --sama rasa-sama rata-- Sebab kenyataannya, secara sadar atau tidak sadar, kita sering diberikan contoh oleh orang tua kita dalam; “pemberian uang saku”. Jika memang term “Adil” kita pahami menjadi --sama rasa-sama rata— maka yang ada setiap anak haruslah diberi uang yang nominalnya sama, entah anak yang belum sekolah, anak yang tingkatan SD, atau anak yang telah sekolah di tingkatan menengah atas sekalipun. Dan hal yang seperti inilah, yang disebut sebagai kekeliruan. Sebab kenyataannya, orang tua kita memberi penilaian dan perlakuan yang beda pada setiap anak, namun tetap bersikap sama dalam pemberian Hak uang saku pada setiap anak. Anak yang belum sekolah akan diberikan uang saku sesuai kebutuhannya, anak yang tingkat SD akan diberikan uang saku sesuai keperluan tingkat anak SD, dan anak sekolah pada tingkat menengah atas, akan pula diberikan uang yang nominalnya lebih besar daripada anak yang belum sekolah dan anak SD. Begitupun penilaian dan perlakuan orang tua pada anak yang rajin, dan anak yang bakti pada orang tua. Anak tersebut pasti akan lebih disayang daripada anak yang malas dan pembangkang.

Di atas mengenai uang saku pada anak dalam keluarga hanyalah sebuah contoh sederhana yang bisa kita ambil dari konsepsi “Adil” dalam perspektif Islam. Hal ini, seperti yang sudah dijelaskan oleh Prof. Hamka: Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya.

Sepekan lalu, kita dihangati kembali oleh isu Ahmadiyah, dan juga isu Kesetaraan Gender yang tidak pernah habis dibela oleh Para Pluralis Liberal dan feminis. Padahal, isu-isu tersebut sudah sering dibahas. Namun, masih saja ada yang rancu dalam memberi penilaian. Yang lebih anehnya, perlakuan dan penilaian untuk membela Ahmadiyah dan Kesetaraan Gender itu dilakukan oleh sebagian umat muslim yang mengakui progesif dan bersikap inklusif, dengan jargon: “HAM dan Keadilan”. Dengan pemahaman yang berbeda dari cara pandang-alam Islam (Islamic worldview) itulah mereka tidak lagi menempatkan makna “Adil” bukan pada kedudukannya atau makna aslinya. Sungguh aneh dan sangat ironis.

Keadilan Untuk Ahmadiyah

Dalam Catatan Akhir Pekan (CAP) yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini, ada beberapa kutipan yang menarik untuk Saya masukan dalam artikel ini, khususnya dalam tema: Ahmadiyah dan juga Kesetaraan Gender. Satu judul dalam buku kumpulan CAP Membendung Arus Liberalisme Di Indonesia: “Islam Menjawab Ahmadiyah”. Dalam catatanya Dr. Adian mengutip:

Dari Harian Republika, yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif yang berjudul “Solusi Masalah Ahmadiyah” (26 Mei 2008): Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh Ahmadiyah dan pendukungnya – yang biasanya mengakui bukan pengikut Ahmadiyah – sering mengangkat “Logika Persamaan”. Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari Islam, karena banyak persamaannya. Al-Qurannya sama, syahadatnya sama, shalatnya sama, dan hal-hal lainnya. Maka, kata mereka, demi keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui saja sebagai bagian dari Islam.

Dalam hasil kutipan di atas, kita bisa dengan jelas melihat penerjangan kata “Adil”, lihatlah juga logika mereka yang rancu, yang bukan hanya dilihat dalam sudut pandang Islam, secara umumpun , jika dilihat dalam logika yang sederhana juga mereka jelas melanggar Prinsip Identitas (PI) dan Prinsip Non Kontradiksi (PNK). Mereka para tokoh Ahmadiyah dan pendukungnya memberi penilaian dan perlakuan dengan; menyatukan hal-hal yang sama pada obyek-obyek yang berbeda, dan yang lebih anehnya, merekapun memberi penilaian “Persamaan” pada obyek-obyek yang jelas bertentangan.

Kita Umat Muslim mengakui bahwa Ahmadiyah bukanlah bagian dari Islam. Sebab, secara dasar (Aqidah), tidak ada satupun aliran atau mazhab dalam Islam untuk mengakui adanya Nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Yang memang diakui sebagai Nabi Penutup. Kita benar-benar heran, kenapa kita (Umat Muslim) harus dipaksa untuk menerima tawaran “logika persamaan” itu, yang bila dikaji tidak berdasar pada kata keadilan itu sendiri?

Sebab itulah, Rabithah al-Alam al-Islami dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI) telah lama mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah golongan yang telah keluar dari Islam. Begitu juga MUI, tidak akan sembarangan untuk memberi fatwa “Sesat” pada Ahmadiyah tanpa kajian mendalam. Kita juga bisa lihat dalam artikel yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra

Pendapat saya tentang Ahmadiyah sebenarnya tegas saja. Bagi saya, seseorang masih dapat dikatakan seorang Muslim, apabila dia berpegang teguh dan berkeyakinan sejalan dengan prinsip akidah Islam, yakni La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Tentang Muhammadur Rasulullah itu tegas pula dianut prinsip, bahwa sesudah beliau tidak ada lagi rasul dan nabi yang lain. Kalau mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w, saya berpendirian bahwa keyakinan tersebut sudah menyimpang dari pokok akidah Islam”.

Selain itu, Yusril juga menambahkan :

“Apakah dasar hukum yang diinginkan agar Pemerintah melarang keberadaan Gerakan Ahmadiyah itu? SKB yang menjadi bahan pembicaraan itu bersumber pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 ini pula, ketentuan Pasal 156 KUHP ditambah dengan Pasal 156a yang antara lain berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”

Nah, kalau membaca dengan cermat isi UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas, maka keliru kalau ada yang meminta Pemerintah — dalam hal ini Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung — untuk menerbitkan “SKB “untuk melarang Ahmadiyah. “SKB” hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Kalau Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan/perkumpulan/organisasi, maka yang dapat membubarkan dan melarangnya bukan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetapi Presiden Republik Indonesia. Jadi permintaan harus disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan kepada Muhammad Maftuch Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supanji.

Kita bisa mencermati maksud artikel di atas, sebenarnya, yang dituntut oleh Yusril adalah keputusan Presiden untuk memberikan keadilan sesuai proporsinya. Masalah SKB hanyalah sebagai pembanding, sebelum Keputusan Presiden itu ditetapkan. Maka, tak heran, jika konsepsi keadilan haruslah terkait dengan konsep kepemimpinan, seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan oleh Prof. Hamka. Adil selalu terkait dalam segala persoalan (konsepsi lainnya). Jadi, memahami adil dan keadilan memang sangat penting. Karena begitu pentingnya, maka Islam mengutamakan keadilan dibanding kesejateraan.

Bersambung…

0 komentar:

Posting Komentar